Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah

Jumat, 04 April 2014

Waktu yang Tepat untuk Melupamu, Tak akan pernah ada.



Waktu yang Tepat untuk Melupamu

Kupikir waktu yang tepat untuk melupamu
adalah saat hatiku tepatku buat sakit karena memutuskanmu
sampai rasanya begitu sekarat
dan tak mampu bangkit.

Namun aku salah.
Sesuatu yang terlalu dipaksa
terkadang tak mampu berhasil dengan sempurna.

Kupikir waktu yang tepat untuk melupamu
adalah saat kau sudah pergi dan berlalu.
Aku akan terbiasa sendiri dan membiasakan diri akan ketidakhadiranmu.

Namun itupun ternyata bukan waktu yang paling tepat.
Karena ketika kau jauh,
rinduku menjadi sungguh terlalu.

Kupikir lagi,
waktu yang paling tepat untuk melupamu
adalah saat kau sudah bersama dia yang baru.
Karena aku tak mampu membohongi diriku
bahwa bahagiamu yang bukan karenaku adalah sakit yang terlalu.
Sesak, sampai aku sulit bernafas.
Dan ternyata sama saja.
Itupun bukan waktu yang paling tepat.

Tidak. Karena aku tak amnesia.
Tak bisa kupaksakan diri untuk membencimu dengan terlalu,
karena jika hanya demi kenangan yang harus kulupakan,
aku masih percaya keajaiban Tuhan.

Kurasa setiap orang tetap mampu bahagia,
walau apapun aral yang melintang, asal kita bisa menghadapinya sama-sama.

Kurasa setiap orang masih mampu untuk tersenyum,
walau ada kenangan manis yang tak lagi ada di hidup mereka saat ini.

Dan kurasa,
waktu yang tepat untuk melupakanmu
Tak akan pernah ada..

Aku (Telah) Berpindah

Aku memang telah berpindah
Dari kuat dan perkasa
Menjadi selemah-lemahnya wanita
Aku memang telah berpindah
Dari menginginkanmu selalu setia
Menjadi hanya ingin kau baik-baik saja
Walau kau ada di sana
Jauh dari tempatku berada
Aku memang telah berpindah
Dari selalu mendoakan abadinya kebersamaan kita
Menjadi hanya bahagiamu semata
Aku memang telah berpindah
Dari mengaku rindu dan menawarkan temu
Menjadi hanya sekedar mengucap doa-doa
Aku memang telah berpindah
Dari berusaha begitu kerasnya
Sampai hanya ikhlas dan melihat ke arah mana Tuhan menuntun kita
Aku memang telah berpindah
Dari hanya sekedar cinta
Menjadi cinta luar biasa.
: Cintaku padamu telah menjadi begitu luar biasa

Sebelum Keheningan

Inilah kebiasaan baik yang biasa kita lakukan setiap malam hari
: Bicara. Tertawa. Berpikir bersama.
Namun malam ini, tiba-tiba ada yang terbentur begitu kerasnya
: inginmu dan isi kepalaku.
Sayang, sebelum keheningan menelan semua kesempatan baikku
Izinkan aku berucap beberapa kata saja
Bila aku tidak berkata ‘ya’ pada apapun yang begitu kau ingin saat ini
Percayalah itu bukan karena aku tidak percaya pada apapun yang kau punya
Aku mencintaimu sepenuh hatiku
Dan seiring itu, aku mempercayaimu lebih dari apa yang bisa kutunjukkan.
Bila aku tidak selalu setuju pada apapun yang ada dalam tekadmu
Percayalah itu bukan karena dukunganku beralih arah menjadi tidak lagi menuju
Aku mencintaimu sepenuh hatiku
Dan seiring itu, aku tahu hidup lebih dari sekedar perihal hasrat dan napsu
Ada tanggung jawab dan logika
Yang seharusnya lebih mengisi isi semesta.
Maka, sebelum keheningan menelan malam dan cintaku kauragukan,
Ingatlah bahwa kita pernah diuji hal-hal yang lebih besar dari sekedar keraguan, ketidakpastian, kekecewaan.
Dan bila saat itu kita mampu baik-baik saja, mengapa sekarang harus menjadi tidak?

(Tidak) Selalu Ada

Kepada pria di ujung kota sana,
Ragaku memang tak selalu ada,
namun doa-doaku atasmu selalu setia.
Kita memang tidak selalu berjumpa,
namun rinduku padamu adalah serupa harta yang selalu kujaga.
Kata-kata dari bibirku memang tidak selalu manis terdengar di telinga,
namun segala lafadz kebaikan tetap saja setia menuju tuannya.
Puisiku memang tidak selalu perihal bahagia,
namun percayalah bahkan dalam duka pun aku selalu lupa untuk tidak mengingat sebuah nama
: namamu.
Aku memang tidak selalu ada,
namun Tuhan menganugerahi aku setia.
Semoga kau juga.
Semoga kita sama.

Menikah atau belum, kalian harus baca yang ini

Ketika aku tiba di rumah malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku memegang tangannya dan berkata, “Aku ingin membicarakan sesuatu.” Dia duduk dan makan dengan tenang. Sekali lagi aku melihat ada luka di matanya, namun aku tidak tahu itu apa.
Aku ingin bicara, tapi aku merasa bingung harus mulai dari mana. Akhirnya aku berkata, “Aku ingin bercerai.” Dia tampaknya tidak terganggu oleh kata-kataku, bahkan dia hanya bertanya dengan lembut. “Mengapa?”
Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini ternyata membuatnya marah. Dia membuang sumpit dan berteriak padaku, “kau bukan laki-laki!”
Malam itu , kami tidak berbicara satu sama lain. Dia menangis. Aku tahu dia ingin mencari tahu apa yang terjadi dengan pernikahan kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
Aku memiliki Jane sekarang. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!
Dengan perasaan yang amat bersalah, aku menuliskan surat perceraian dimana istriku memperoleh rumah, mobil kami, dan 30 % saham dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan merobek-robeknya!
Wanita yang telah menghabiskan sepuluh tahun hidupnya denganku telah menjadi orang asing. Aku merasa kasihan padanya karena waktu dan energinya sudah terbuang…
Tapi aku tidak bisa menjilat ludahku sendiri karena aku mencintai Jane. Akhirnya ia menangis dengan keras di depanku, yang sebenarnya sudah menjadi harapanku.
Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan….
Ide perceraian yang telah membuatku terobsesi selama beberapa minggu terakhir tampaknya lebih jelas sekarang.
Keesokan harinya, aku kembali ke rumah larut malam, dan menemukan dia menulis sesuatu di meja . Aku tidak makan malam tapi langsung tidur dan tertidur sangat cepat karena aku lelah setelah seharian bersama Jane. Ketika aku bangun, dia masih di posisinya semula. Aku tidak peduli dan tertidur lagi.
Di pagi hari dia memberitahu sesuatu yang cukup janggal, sebagai permintaannya sebelum kita bercerai. Dia meminta agar dalam satu bulan sebelum bercerai, kami berdua harus berhubungan seperti biasa. Alasannya sederhana: anak kami akan menghadapi ujian di sekolahnya dalam waktu satu bulan dan dia tidak ingin mengganggunya dengan kabar buruk.
Tapi dia memiliki permintaan lain lagi. Dia memintaku untuk menggendongnya setiap pagi, seperti saat aku membawanya ke kamar pengantin pada hari pernikahan kami….
Dia meminta agar setiap hari selama sebulan aku bisa menggendong dia keluar dari kamar tidur ke pintu depan. Aku pikir dia sudah gila . Namun, karena ini merupakan hari-hari terakhir kami bersama-sama, aku menerima permintaannya yang aneh itu.
Aku bilang Jane tentang kondisi ini. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Tidak peduli apa trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi perceraian ini,” ia mencemooh.
Aku dan istriku tidak pernah kontak badan lagi sejak kukatakan perceraian itu secara eksplisit. Jadi ketika aku menggendongnya keluar pada hari pertama, kami berdua tampak canggung.
Anak kami menepuk punggung kami, “Ayah membopong ibu,” kata-katanya melahirkan rasa sakit di hatiku.
Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan lebih dari sepuluh meter dengan ia dalam gendongan tanganku. Dia menutup matanya dan berkata lembut, “jangan memberitahu anak kita tentang perceraian”.
Aku mengangguk, merasa agak kesal. Aku menurunkannya di luar pintu. Dia pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Aku pergi sendirian ke kantor.
Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebahkan diri di dadaku. Aku bisa mencium wangi di bajunya. Aku menyadari bahwa sudah lama aku tidak pernah begitu memperhatikannya….
Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi. Ada kerutan halus di wajahnya. Rambutnya mulai beruban…
Pernikahan kami telah membuatnya jadi korban. Untuk sesaat aku bertanya-tanya apa yang telah kulakukan padanya.
Pada hari keempat, ketika aku mengangkatnya, aku merasakan keintiman itu kembali. Ini adalah wanita yang telah memberi sepuluh tahun hidupnya untukku. Pada hari kelima dan keenam, aku menyadari bahwa keintiman kami mulai tumbuh lagi. Aku tidak memberitahu Jane tentang hal ini.
Setelah hampir sebulan, menjadi lebih mudah untuk menggendongnya. Mungkin latihan sehari-hari membuat aku lebih kuat.
Dia memilih apa yang akan dikenakan pada suatu pagi. Lalu ia menghela napas, “semua gaunku telah membesar.”
Aku tiba-tiba menyadari bahwa tubuhnya begitu kurus. Itulah alasan mengapa aku bisa membopongnya dengan ringan.
Sontak aku tersadar, dia telah mengubur begitu banyak rasa sakit dan kepahitan di dalam hatinya. Tanpa sadar aku mengulurkan tangan dan menyentuh kepalanya.
Anak kami masuk pada saat itu dan berkata, “Dad, saatnya untuk membawa ibu keluar.” Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian penting dari hidupnya. Istriku menunjuk ke anak kami untuk mendekat dan memeluknya erat-erat.
Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada menit terakhir ini. Aku kemudian membopongnya, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras.
Tangannya merangkul leherku dengan lembut dan alami. Aku menyangga badannya dengan kuat. Persis seperti hari dimana kami menikah.
Tapi berat badannya yang semakin ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku memeluknya dalam pelukanku, aku hampir tidak bisa bergerak selangkahpun. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya dengan kuat dan berkata, “aku tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra.”
Aku pergi ke kantor. Melompat keluar dari mobil tanpa sempat mengunci pintu. Aku takut aku akan berubah pikiran.
Aku menemui Jane, dan berkata, “maaf, Jane. Aku tidak ingin bercerai lagi. Dia menatapku heran, dan kemudian menyentuh dahiku. “Kau kenapa?” tanyanya.
Aku lepaskan tangannya dari dahiku. “Aku tidak ingin bercerai,” kataku. Aku lalu bercerita kalau kehidupan rumah tanggaku berantakan bukan karena kami tidak saling mencintai lagi, tapi karena kami kurang menghargai detail-detail dalam kehidupan kami…
Sekarang aku menyadari bahwa sejak aku membawanya ke rumah pada hari pernikahan kami, aku seharusnya memeluknya sampai kematian memisahkan kita.
Jane terlihat kaget. Dia menamparku dengan keras dan membanting pintu. Ia menangis. Aku menuruni tangga dan pergi.
Di toko bunga di jalan, aku membeli karangan bunga untuk istriku. Pramuniaga bertanya kata-kata apa yang ingin kutulis dalam kartu. Aku tersenyum dan menulis, “aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian memisahkan kita.”
Malam itu aku tiba di rumah, bunga di tanganku, senyum di wajahku. Aku berlari naik tangga hanya untuk menemukan istriku di tempat tidur. Dia meninggal.
Istriku telah berjuang selama berbulan-bulan melawan kanker tapi aku begitu sibuk dengan Jane. Dia tahu bahwa dia akan segera meninggal dan ia ingin agar anakku tidak menyalahkanku karena aku ingin bercerai. Setidaknya, di mata anak kami, aku suami dan ayah yang penuh kasih…

http://www.rodazaman.info/inspirasi-motivasi/kisah-inspiratif/menikah-atau-belum-kalian-harus-baca-yang-ini/

milanku

Glitter Photos
[Glitterfy.com - *Glitter Photos*]