Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah

Selasa, 29 Oktober 2013

Pulang Ke Rumah

Dulu saya pernah diminta untuk kuliah di kotabaru saja agar dekat dari rumah. Bagi saya sendiri Kotabaru terlalu dekat. Kehidupan yang sama dengan sebelumnya, masyarakat yang sama, kultur yang sama. Saya waktu itu ingin merasakan hal yang baru. Merantau yang jauh.

Dalam hal merantau, laki-laki memiliki keleluasaan yang mungkin membuat perempuan iri. Saya yang lahir dan menghabiskan hidup ditengah-tengah kota kecil dan desa yang jauh dari keramaian. Kini hidup di tengah pusat kota Sungai danau yang sangat dinamis, pusat perekonomian, pusat pergerakan budaya urban. Sebuah perpindahan yang cukup drastis.

Ada benturan-benturan budaya (culture-shock) pada awalnya dan saya belajar banyak darisana. Kini saya tahu bagaimana nyaman dan damainya hidup di desa dan bagaimana ramai dan sibuknya hidup di kota besar. Keduanya memberikan saya pengalaman yang berharga.

Hidup masa kecil yang lengkap dengan sawah yang luas, hujan-hujanan, main sepeda, sungai yang bersih, ikan yang melimpah bahkan di parit-parit kecil, dan segala hal yang mungkin sama sekali tidak akan dirasakan oleh anak-anak kota pada usia saya waktu itu. Kini hidup di kota memberikan gambaran yang berbeda. Individualitas, kriminalitas, gaya hidup, materi, segalanya berkecamuk dalam pikiran. Lantas saya berpikir hendak hidup dimana.

Kota atau desa adalah pilihan yang menarik. Saya pikir jika perekonomian bisa merata, orang-orang desa tidak perlu melakukan urbanisasi ke kota besar seperti Banjarmasin dan sekitarnya. Sebab kota besar ini memang menjanjikan materi dan masa depan. Di desa, perekonomian sangat lambat bahkan hampir mati. Saya yang setiap pulang ke desa selalu tidak menemukan lagi teman sebaya kecuali pada musim lebaran, mereka pulang dari rantau. Membawa segala atribut simbol kesuksesan berupa HP terbaru, motor sport keluaran terbaru, atau mobil. Ini seperti perlombaan materi.

Seorang lulusan sarjana pun lebih banyak memilih untuk bekerja di kota besar. Sebab hampir tidak ada pelang di kota kecil bahkan di desa. Pendidikan yang diajarkan pun segalanya mengarah ke kota besar, kehidupan modern. Segala sesuatu terpusat di kota-kota besar. Sehingga daerah-daerah kecil mati perlahan-lahan karena kehilangan sumber daya manusia yang baik. Dalam satu bulan ini saya bolak balik dari rumah ke sungai danau 2x. Naik bus dari stasiun kecil dan turun di Stasiun sungai danau yang besar. Seperti perpindahan alam.

Setiap kali pulang kerumah dari sejak pertama kali saya masuk kerja 4 tahun yang lalu, tidak ada perubahan di kota dan desa kecilku ini. Semuanya sama. Jalanan yang rusak pun masih sama. Posisi toko, penjualnya, tukang ojek, pohon dipinggir jalan, penjual dawet dan durian, semua masih sama.

Saya pun mengalami pergolakan pikiran sendiri, selepas dari Uniska. Akan kemanakah saya mengimplementasikan ilmu saya ini. Apakah lari ke kota besar seperti Banjarmasin. Atau kembali ke daerah asal, setidaknya di sungai danau yang hanya sejengkal dari rumah. Kehidupan pasca-kampus dan kerja memang sesuatu yang akan terjadi. Saya hanya percaya pada satu hal bahwa dimanapun saya akan tinggal, disitulah Allah akan mengalirkan rejeki bagi saya. Dan saat ini saya belum membuat pilihan, Sungai danau - Banjarmasin begitu menggoda. Tapi disisi lain, banyak tempat lain yang memerlukan sentuhan. Kerendahan hati para sarjana untuk turun tangan ke lapisan masyarakat terbawah. Masyarakat yang selama ini menjadi korban televisi.

Kita boleh bicara soal negara sampai berbusa-busa. Membicarakan sesuatu yang makro. Sayangnya, sedikit sekali yang mau terjun ke masyarakat bawah. Masyarakat yang selama ini hanya sering dijadikan objek KKN oleh kampus-kampus, masyarakat yang hanya dijadikan objek penelitian skripsi.  Ya saya sendiri pun, entahlah. Menjadi mahasiswa dan pekerja seolah-olah sibuk dengan dunia sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

milanku

Glitter Photos
[Glitterfy.com - *Glitter Photos*]