Dulu saya pernah diminta untuk kuliah di kotabaru saja agar dekat dari
rumah. Bagi saya sendiri Kotabaru terlalu dekat. Kehidupan yang sama
dengan sebelumnya, masyarakat yang sama, kultur yang sama. Saya waktu
itu ingin merasakan hal yang baru. Merantau yang jauh.
Dalam hal
merantau, laki-laki memiliki keleluasaan yang mungkin membuat perempuan
iri. Saya yang lahir dan menghabiskan hidup ditengah-tengah kota kecil
dan desa yang jauh dari keramaian. Kini hidup di tengah pusat kota Sungai danau yang sangat dinamis, pusat perekonomian, pusat pergerakan budaya
urban. Sebuah perpindahan yang cukup drastis.
Ada benturan-benturan budaya (culture-shock)
pada awalnya dan saya belajar banyak darisana. Kini saya tahu bagaimana
nyaman dan damainya hidup di desa dan bagaimana ramai dan sibuknya
hidup di kota besar. Keduanya memberikan saya pengalaman yang berharga.
Hidup
masa kecil yang lengkap dengan sawah yang luas, hujan-hujanan, main
sepeda, sungai yang bersih, ikan yang melimpah bahkan di parit-parit
kecil, dan segala hal yang mungkin sama sekali tidak akan dirasakan oleh
anak-anak kota pada usia saya waktu itu. Kini hidup di kota memberikan
gambaran yang berbeda. Individualitas, kriminalitas, gaya hidup, materi,
segalanya berkecamuk dalam pikiran. Lantas saya berpikir hendak hidup
dimana.
Kota atau desa adalah pilihan yang menarik. Saya pikir
jika perekonomian bisa merata, orang-orang desa tidak perlu melakukan
urbanisasi ke kota besar seperti Banjarmasin dan sekitarnya. Sebab kota
besar ini memang menjanjikan materi dan masa depan. Di desa,
perekonomian sangat lambat bahkan hampir mati. Saya yang setiap pulang
ke desa selalu tidak menemukan lagi teman sebaya kecuali pada musim
lebaran, mereka pulang dari rantau. Membawa segala atribut simbol
kesuksesan berupa HP terbaru, motor sport keluaran terbaru, atau mobil.
Ini seperti perlombaan materi.
Seorang lulusan sarjana pun lebih
banyak memilih untuk bekerja di kota besar. Sebab hampir tidak ada
pelang di kota kecil bahkan di desa. Pendidikan yang diajarkan pun
segalanya mengarah ke kota besar, kehidupan modern. Segala sesuatu
terpusat di kota-kota besar. Sehingga daerah-daerah kecil mati
perlahan-lahan karena kehilangan sumber daya manusia yang baik. Dalam
satu bulan ini saya bolak balik dari rumah ke sungai danau 2x. Naik bus
dari stasiun kecil dan turun di Stasiun sungai danau yang besar. Seperti
perpindahan alam.
Setiap kali pulang kerumah dari sejak pertama
kali saya masuk kerja 4 tahun yang lalu, tidak ada perubahan di kota dan
desa kecilku ini. Semuanya sama. Jalanan yang rusak pun masih sama.
Posisi toko, penjualnya, tukang ojek, pohon dipinggir jalan, penjual
dawet dan durian, semua masih sama.
Saya pun mengalami
pergolakan pikiran sendiri, selepas dari Uniska. Akan kemanakah saya
mengimplementasikan ilmu saya ini. Apakah lari ke kota besar seperti
Banjarmasin. Atau kembali ke daerah asal, setidaknya di sungai danau yang
hanya sejengkal dari rumah. Kehidupan pasca-kampus dan kerja memang sesuatu yang
akan terjadi. Saya hanya percaya pada satu hal bahwa dimanapun saya akan
tinggal, disitulah Allah akan mengalirkan rejeki bagi saya. Dan saat
ini saya belum membuat pilihan, Sungai danau - Banjarmasin begitu menggoda. Tapi
disisi lain, banyak tempat lain yang memerlukan sentuhan. Kerendahan
hati para sarjana untuk turun tangan ke lapisan masyarakat terbawah.
Masyarakat yang selama ini menjadi korban televisi.
Kita boleh
bicara soal negara sampai berbusa-busa. Membicarakan sesuatu yang makro.
Sayangnya, sedikit sekali yang mau terjun ke masyarakat bawah.
Masyarakat yang selama ini hanya sering dijadikan objek KKN oleh
kampus-kampus, masyarakat yang hanya dijadikan objek penelitian
skripsi. Ya saya sendiri pun, entahlah. Menjadi mahasiswa dan pekerja seolah-olah
sibuk dengan dunia sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar