Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah

Rabu, 30 Oktober 2013

Memahami


Setiap orang ingin dipahami. Setiap orang ingin dimengerti. Sayangnya tidak semua orang mau mengerti orang lain, setidaknya melapangkan hati untuk mengenal lebih jauh orang lain.

Ketidakmengertian ini pun, yang saya amati, bukan tanpa sebab. Hidup ini hampir seluruh kesibukannya menuntut setiap orang untuk memikirkan diri sendiri. Untuk hidup diri sendiri, untuk kesenangan, keselamatan, keamanan, kenyamanan diri sendiri. Semakin sedikit ditemui orang-orang yang mau menyisihkan sebagian waktu hidupnya untuk orang lain.

Untuk mengerti membutuhkan waktu, untuk mengerti perlu meluangkan waktu. Memberikan sedikit ruang dan waktu kita untuk orang lain ada dalam pikiran kita, untuk kita pahami. Mengeluarkan energi untuk merenungkan orang lain. Memberikan perhatian yang lebih dari biasanya.

Semakin kesini, orang selalu menuntut untuk dipahami. Padahal tidak ada orang yang bisa membaca pikiran orang lain. Lalu, orang pun malas berkata-kata, menyampaikan sesuatu kepada orang yang dimaksud. Lebih senang menulis cacian dalam 140 karakter.

Memahami itu melapangkan hati, menerima. Bahwa setiap orang akan hadir dengan karakternya masing-masing. Dan tidak semua karakter itu berpasangan. Kita tidak akan selalu cocok dengan orang lain, tapi kita bisa mengusahakan bekerja bersama. Kita tidak akan selalu suka dengan karakter orang lain, namun ketidaksukaan itu tidak lantas membuat kita menjelek-jelekkannya.

Memahami itu sebuah proses yang panjang. Seorang suami istri bahkan akan melakukan proses memahami ini sampai mereka mati. Tidak ada orang yang benar-benar bisa memahami orang lain. Yang ada adalah seberapa lapang hatinya untuk menerima kehadiran orang lengkap dengan karakternya itu dalam hidupnya.

Semakin lapang hatinya, maka dia akan bisa menerima keadaan orang lain, memberikan ruang yang lebih leluasa untuk orang lain bergerak dalam hidupnya. Sebab itu jikapun saat ini kita merasa ada orang lain yang memahami kita, sejatinya orang itu memiliki hati yang lapang untuk menerima kita disana.

Memahami adalah sebuah proses penerimaan. Bagiku seperti itu.

 Bandung, 30 Oktober 2013

Selasa, 29 Oktober 2013

Pulang Ke Rumah

Dulu saya pernah diminta untuk kuliah di kotabaru saja agar dekat dari rumah. Bagi saya sendiri Kotabaru terlalu dekat. Kehidupan yang sama dengan sebelumnya, masyarakat yang sama, kultur yang sama. Saya waktu itu ingin merasakan hal yang baru. Merantau yang jauh.

Dalam hal merantau, laki-laki memiliki keleluasaan yang mungkin membuat perempuan iri. Saya yang lahir dan menghabiskan hidup ditengah-tengah kota kecil dan desa yang jauh dari keramaian. Kini hidup di tengah pusat kota Sungai danau yang sangat dinamis, pusat perekonomian, pusat pergerakan budaya urban. Sebuah perpindahan yang cukup drastis.

Ada benturan-benturan budaya (culture-shock) pada awalnya dan saya belajar banyak darisana. Kini saya tahu bagaimana nyaman dan damainya hidup di desa dan bagaimana ramai dan sibuknya hidup di kota besar. Keduanya memberikan saya pengalaman yang berharga.

Hidup masa kecil yang lengkap dengan sawah yang luas, hujan-hujanan, main sepeda, sungai yang bersih, ikan yang melimpah bahkan di parit-parit kecil, dan segala hal yang mungkin sama sekali tidak akan dirasakan oleh anak-anak kota pada usia saya waktu itu. Kini hidup di kota memberikan gambaran yang berbeda. Individualitas, kriminalitas, gaya hidup, materi, segalanya berkecamuk dalam pikiran. Lantas saya berpikir hendak hidup dimana.

Kota atau desa adalah pilihan yang menarik. Saya pikir jika perekonomian bisa merata, orang-orang desa tidak perlu melakukan urbanisasi ke kota besar seperti Banjarmasin dan sekitarnya. Sebab kota besar ini memang menjanjikan materi dan masa depan. Di desa, perekonomian sangat lambat bahkan hampir mati. Saya yang setiap pulang ke desa selalu tidak menemukan lagi teman sebaya kecuali pada musim lebaran, mereka pulang dari rantau. Membawa segala atribut simbol kesuksesan berupa HP terbaru, motor sport keluaran terbaru, atau mobil. Ini seperti perlombaan materi.

Seorang lulusan sarjana pun lebih banyak memilih untuk bekerja di kota besar. Sebab hampir tidak ada pelang di kota kecil bahkan di desa. Pendidikan yang diajarkan pun segalanya mengarah ke kota besar, kehidupan modern. Segala sesuatu terpusat di kota-kota besar. Sehingga daerah-daerah kecil mati perlahan-lahan karena kehilangan sumber daya manusia yang baik. Dalam satu bulan ini saya bolak balik dari rumah ke sungai danau 2x. Naik bus dari stasiun kecil dan turun di Stasiun sungai danau yang besar. Seperti perpindahan alam.

Setiap kali pulang kerumah dari sejak pertama kali saya masuk kerja 4 tahun yang lalu, tidak ada perubahan di kota dan desa kecilku ini. Semuanya sama. Jalanan yang rusak pun masih sama. Posisi toko, penjualnya, tukang ojek, pohon dipinggir jalan, penjual dawet dan durian, semua masih sama.

Saya pun mengalami pergolakan pikiran sendiri, selepas dari Uniska. Akan kemanakah saya mengimplementasikan ilmu saya ini. Apakah lari ke kota besar seperti Banjarmasin. Atau kembali ke daerah asal, setidaknya di sungai danau yang hanya sejengkal dari rumah. Kehidupan pasca-kampus dan kerja memang sesuatu yang akan terjadi. Saya hanya percaya pada satu hal bahwa dimanapun saya akan tinggal, disitulah Allah akan mengalirkan rejeki bagi saya. Dan saat ini saya belum membuat pilihan, Sungai danau - Banjarmasin begitu menggoda. Tapi disisi lain, banyak tempat lain yang memerlukan sentuhan. Kerendahan hati para sarjana untuk turun tangan ke lapisan masyarakat terbawah. Masyarakat yang selama ini menjadi korban televisi.

Kita boleh bicara soal negara sampai berbusa-busa. Membicarakan sesuatu yang makro. Sayangnya, sedikit sekali yang mau terjun ke masyarakat bawah. Masyarakat yang selama ini hanya sering dijadikan objek KKN oleh kampus-kampus, masyarakat yang hanya dijadikan objek penelitian skripsi.  Ya saya sendiri pun, entahlah. Menjadi mahasiswa dan pekerja seolah-olah sibuk dengan dunia sendiri.

Jika Istrimu Seorang Doktor, dosen / akuntan

Mungkin banyak orang berharap teman hidupnya nanti berprofesi sama, atau sejajar dari segi akademis, mungkin bahkan lebih. Katanya, supaya ngobrolnya nyambung, atau setidaknya sepemikiran. Aku, seorang calon banker (insyaallah), tidak berharap itu. Karena ketika berkeluarga nanti, kami akan berbagi kehidupan, bukan berbagi pekerjaan.

Aku sendiri tidak akan menjadi doktor/
akuntan di keluargaku nanti, tapi berharap bisa menjadi seorang istri, yang berbakti pada suami, menjadi tulang rusuknya, menjadi tempatnya bersandar ketika lelah, beristirahat, menjadi orang pertama di sampingnya yang menyediakan payung untuknya ketika hujan, tempatnya mengambil energi untuk siap lagi menghadapi tantangan hidup, pendukung utama mimpi-mimpinya, menjadi benang yang terbaik untuk layanganku terbang amat tinggi. Menjadi kuat menopangnya, dan terutama menjadi rumah baginya untuk pulang.

Aku tidak akan menjadi Doktor, dosen /
akuntan untuk keluargaku, tapi menjadi seorang ibu, tempat teraman dan nyaman bagi anak-anaknya kelak, madrasah ilmu bagi mereka, lapisan pelindung pertama, orang terdekat tempat mempercayakan tumbuh kembangnya kelak.

Menjadi wanita paling sabar dan kuat, yang siap berada di mana pun keluarganya membutuhkannya. Saat mereka lelah, aku ingin siap berada di depan untuk menarik dan menyemangati mereka, siap berada di belakang untuk mengikuti, siap berada di samping untuk mendampingi.


Mungkin kini, aku terkesan egois dengan mengejar mimpiku setinggi-tingginya. Tapi percayalah, ini hanyalah sebuah jalan untuk menjalankan peran terbaikku di kehidupan, untuk bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain. Dan percayalah, dalam keluarga aku tetap ingin dipercaya untuk menjadi tulang rusuknya, pelengkap hidupnya dan keluarga kami kelak, menjalankan tugas-tugasku untuk mematuhi dan menghormati suami, mendampingi suami dalam tugas beratnya membawa keluarga kami seutuhnya ke surga-Nya.

Mungkin memang bukan seorang akuntan yang dibutuhkan, tapi aku berharap, aku bisa belajar banyak untuk menjadi seorang yang sabar, kuat, percaya, tulus dan teguh dalam perjalananku menjadi seorang akuntan yang handal, untuk mereka, yang paling membutuhkanku nantinya, keluarga.

milanku

Glitter Photos
[Glitterfy.com - *Glitter Photos*]