Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah - Follow @St_Mardhiah

Selasa, 14 Januari 2014

Dialog Sore tentang Memasak

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah tulisan yang aku buat, ada komentar yang bilang gini :

Hanya pria-pria yang sedang jatuh cinta yang bisa nulis hal-hal manis tapi ga realistis kaya gini. Seumur-umur baru tau ada pria yang ga mempermasalahkan kalau calon pasangannya ga bisa masak.

Tidak 100% salah, dan tidak 100% benar. Teman baik saya membaca komentar itu dan tertawa. Dia bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Gun?"

Aku?

Aku memastikan pertanyaan temanku itu. Tidak masalah. Maksudku, tidak masalah pendamping hidupku nanti tidak bisa memasak. Itu bukan hal yang sangat utama dalam rumah tangga, namun tidak bisa disangkal bahwa di Indonesia, paradigma seperti itu (seorang perempuan/istri harus bisa memasak) telah menjadi pandangan umum dan dianggap benar. Jadi, jika ada sesorang istri yang tidak bisa memasak, dianggap kesalahan fatal oleh masyarakat umum.

"Aku tanya,bagimu sendiri bukan secara umum?", dia menegaskan.

"Aku tidak masalah", aku menegaskan jawabanku.

Temanku diam. Lalu menanyakan alasan.

Dalam alasan ini, aku harus berbagi sedikit cerita. Kalau tidak salah, salah satu cerita dari mbak Asma Nadia. Pada satu hari dia memasak untuk suaminya dan ketika selesai, keduanya telah dimeja makan. Suaminya bertanya. Untuk memasak ini dia butuh waktu berapa jam. Dijawabnya dua jam. Suaminya bertanya lagi. Dalam dua jam, berapa cerpen yang bisa ditulis. Dia menjawab kira-kira dua cerpen. Suaminya tersenyum dan bilang, besok-besok lebih baik menggunakan waktunya untuk menulis saja agar lebih produktif. Memasak biar diurus yang lain.

Ada cerita lain. Seorang perempuan yang dinikahi oleh pemuda lalu diajak ke luar negeri. Di sana, masih dengan paradigma yang dibawa. Sang perempuan memasak, mencuci, membersihkan rumah sepanjang waktu, menyetrika. Lalu pada suatu hari suaminya melihat itu dan bersedih. Dia mengatakan kepada istrinya agar besok istrinya tidak perlu lagi melakukan semua itu dan meminta istrinya untuk melanjutkan sekolah. Belajar untuk masuk ke sekolah S2 lanjutan di negeri itu. Istrinya bingung mendengar perintah suaminya. Bukankah itu tugas istri di rumah. Pikirnya begitu. Suaminya menjawab, tidak itu bukan tugas istri. Dia mengatakan, istrinya harus memiliki waktu untuk hal yang lebih produktif dan lebih berkualitas untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahliannya. Kebetulan istrinya juga seorang ‘tukang gambar’ saat itu. Suaminya memintanya agar bisa memanfaatkan waktunya untuk melatih keahliannya itu. Urusan rumah tangga, suaminya memutuskan menyewa pembantu. Istrinya yang masih bingung itu menangis. Menangis bahagia tentunya. 1001 laki-laki yang berpikir seperti itu saat ini.

Temanku manggut-manggut. Bertanya lagi, jadi kamu ingin menjadi laki-laki yang berpandangan seperti itu?

"Iya", jawabku.

"Lalu bagaimana dengan paradigma yang sudah ada?", tanyanya.

Mmmm …. memang sulit mengubahnya. Aku memang tidak menjadikan pandai memasak sebagai kriteria, meskipun aku suka makan nantinya. Pun, nantinya kalau aku mendapati istriku tidak bisa memasak, tidak akan menjadi masalah besar. Kalau aku mendapati istriku bisa memasak, anggap saja itu anugerah. Dia boleh menentukan waktunya. Kalau memang dia senang dan asyik memasak, tidak perlu dilarang juga kan.

"Jadi intinya apa, Gun?".

"Intinya sih, bisa atau tidak soal memasak. Tidak menjadi prioritas bagiku. Biar nanti istriku menggunakan waktunya lebih produktif. Untuk hal-hal yang lebih bemanfaat besar bagi keluarga dan orang lain. Sekolah untuk meningkatkan ilmunya misalnya, atau melakukan keahliannya/kesukaannya. Mengembangkan potensinya."

"Yakin nih?", tatapnya tidak percaya.

"Kita buktikan saja nanti. Oh iya, ini bagiku ya dan ini pemahaman yang aku miliki. Jadi, tidak ada yang boleh protes. Haha. Di luar sana mungkin orang lain berpikir berbeda denganku. Keahlian memasak bukanlah hal yang harus dan wajib bagi perempuan, tapi laki-laki juga bisa memilikinya. Intinya adalah bagaimana menjadikan waktu yang dimiliki istri nanti tidak habis untuk hal-hal yang kurang produktif. Dan ini tidak hanya menyangkut soal memasak, tapi aktivitas lain yang dalam paradigma yang ada.Jika memasak baginya adalah kesukaan dan menjadikannya produktif, tentu lain masalah kan?"

Pembicaraan ini ditutup oleh adzan ashar.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Bandung, 14 Januari 2014
(c)kurniawangunadi
setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda dalam masalah ini, tidak ada salahnya kan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

milanku

Glitter Photos
[Glitterfy.com - *Glitter Photos*]